Kamis, 21 Oktober 2010

AL-Islam

AL-ISLAM
Dosen PAI: Didi Purnomo, S.Pd.I, MA

Islam adalah agama yang telah berusia 15 Abad.[1] Hal ini jika diukur sejak masa Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi dan Rasul pada usianya yang ke 40 tahun. Menurut penaggalan masehi waktu itu diperkirakan terjadi pada 610 M (Abad ke 7). Islam sebagai nama formal agama diketahui bukan disandarkan pada nama bangsa, suku atau  nama penyerunya.[2] Islam sebagai nama agama bersumber pada pemberian Allah sebagaimana ditegaskan dalam sebagian QS. Al-Maidah: 03.
…الْيَوْمَ أَكْمَلْت لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتمَمْت عَلَيْكُمْ نِعْمَتى وَ رَضِيت لَكُمُ الاسلَمَ دِيناً…
“…Hari ini Aku sumpurnakan agamamu dan Kulengkapi nikmatku, dan Aku ridha kepadamu Islam sebagai agama...”
Fakta di atas menunjukan bahwa Islam dilihat dari aspek nama, ia memiliki nilai keasliannya sendiri. Islam bukan hasil konstruk sosal, budaya apa lagi ketokohan. Islam menegaskan sebagai agama yang memiliki validasi wahyu yang kokoh. Muhammad SAW sebagai penyerunya sampai para pemeluknya hari ini pun tidak pernah menyebut bahwa pengajaran yang diusungnya sebagai Muhammadisme.
Islam sebagai agama yang Allah turunkan untuk membimbing kehidupan manusia di Bumi, ternyata bukan satu-satunya disebut bagi Nabi Muhammad. Keterangan dalam Al-Qur’an menginformasikan bahwa Nabi Nuh, Ibrahim dan Islam telah menyebut-sebut identitasnya sebagai muslim. Antara keterangan itu dapat diperiksa pada QS. Yunus: 72.
”Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah Sedikit pun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (Muslim)-(kepada-Nya)”.

Secara bahasa, Islam dimaknai berupa pasrah, berserah diri dan juga tunduk. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan yang lebih luas, Islam adalah agama yang mengajak dan membimbing kepada para pemeluknya agar pasrah, berserah diri dan tunduk pada tuntunan Allah dalam menjalani kehidupan jika ingin selamat hidup di dunia dan akhirat.
Nabi Muhammad tidak pernah mengklaim bahwa agama Islam hanya diperuntukan bagi dirinya. Islam bagi Nabi Muhammad merupakan kelanjutan risalah dari tugas para Nabi dan Rasul sebelumnya. Ada pun di Era Nabi Muhammad, Islam sebagai risalah langit telah sempurna menjadi dien bagi seluruh manusia. Oleh karenanya tidak ada lagi Nabi baru sesudah Nabi Muhammad. Yang ada sesudah itu adalah para pewaris tugas Nabi & Rasul. Untuk perkara ini Nabi Muhammad menyebut mereka sebagai para Ulama.
Sebagian sarjana muslim keberatan menyamakan istilah dien dengan agama atau pun religion sebagai padanannya. Mereka beralasan bahwa istilah agama dan religion hanya mengekspresikan relasi ritual antara manusia dan Tuhan. Dalam konteks itu, istilah agama dan religion hanya menempati wilayah private manusia. Konsekwensinya agama tidak punya wewenang mengatur kehidupan manusia di ruang publik. Berdasar pada argument ini akhirnya mereka tetap mempertahankan istilah dien untuk disambung dengan Islam. Istilah dien bagi mereka meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk wilayah private dan public dimana Islam mengatur kesemuanya dan membimbing manusia agar dalam jalan yang diridhoi oleh Allah.[3]

A.        Karakter Agama Islam
Rosulullah bersabda bahwa Islam ditegakan oleh Syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu.[4] Selain keterangan ini Sarjana muslim yang bernama Said Hawa menjelaskan bahwa Islam merupakan perkara (1) aqidah, sebagaimana tercermin dalam dua kalimat sahadat dan rukun iman; (2) Ibadah, yang tercermin dengan shalat, zakat, puasa dan haji; (3) bangunan (system) yang tegak di atas rukun-rukun dtersebut yang tercermin dengan seluruh system hidup Islam, yang mencakup system politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, kemileteran, akhlak dsb.; (4) tiang-tiang penegak sebagai cara menegakan Islam yang tercermin dengan jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Tiang-tiang penegak ini bersifat kudus (rabbani).
Penjelasan di atas dapat diilustrasikan dengan gambar sebagai berikut:
 













Ilustrasi di atas menggambarkan Islam laksana satu bangunan yang utuh. Pondasi Islam terletak pada perkara aqidah. Kemudian ajaran Islam yang meliputi perkara syariah, ibadah dan muamalah menjadi tiang penyangga bangunan. Hal tersebut belum selesai masih dibutuhkan atap agar Islam tidak mudah terkena hujan, panas dan badai. Hal ini hanya terwujud ketika setiap muslim bersungguh-sungguh (jihad) mengamalkan ajaran Islam di segala aspek kehidupan. Akhirnya jadilah Islam sebagai satu bangunan yang kokoh.

B.         Agama Islam dalam Kehidupan Modern
Modern dalam paper ini dimaksudkan sebagai kehidupan Abad 21. Suatu era dimana batas bangsa dan wilayah Negara tidak lagi menjadi masalah utama bagi manusia di dalamnya untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. Keterhubungan antar bangsa dalam interaksi (pergaulan) yang melampaui batas teri-tori suatu Negara otomatis juga menggambarkan lalu lintas budaya tersendiri dari subjek budaya yang berinteraksi. Dampak positifnya, masing-masing budaya dapat saling meminjam keunggulan yang dimiliki mitra interaksinya. Bagi budaya yang tidak memiliki kepercayaan diri, maka interaksi itu malah menyebabkannya mengerut, hingga akhirnya menduplikasi seluruh budaya yang superior. Menduplikasi ini lah akhirnya menyebabkan proses saling meminjam menghilang. Jika sudah pada taraf ini maka potensi hancurnya suatu budaya terjadi.
Perkembangan mencolok Abad 21 dibandingkan masa sebelumnya dapat juga diamati melalui semakin mudahnya kehidupan manusia. Kemudahan itu dijamin oleh keberadaan temuan dan perkembangan ilmu pengetahuan-teknologi. Sebagai contoh, di era KH Ahmad Dahlan maupun KH Hasyim As’ari ke bawah (terutama sebelum diketemukan kapal api), seremoni melepas seseorang yang berangkat ibadah haji ke Mekkah seperti melepas orang meninggal karena diwarnai isak tangis. Hal ini terjadi karena keluarga yang bersangkutan tidak mengetahui persis kapan yang dilepas akan pulang lagi ke tanah air. Pada masa ini menunaikanibadah haji membutuhkan waktu lebih dari setahun dua tahun. Berbeda dengan Abad ini, untuk menunaikan ibadah haji dibutuhkan waktu paling lama 1 bulan bahkan bisa hanya 2 pekan bagi VVIP. Fakta ini mempertegas bahwa pengetahuan (ilmu) menjadikan hidup manusia lebih mudah.
Kemudahan hidup yang dialami manusia di era modern tidak mesti berbanding lurus dengan keberkahan yang didapat.[5] Kemodernan yang dicapai manusia pada kasus tertentu ternyata malah menjauhkannya dari bimbingan agama (Islam). Manusia merasa cukup dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya dan tidak perlu lagi meminta kepada Allah. Potret ini pada akhirnya melahirkan masyarakat sekuler, yaitu sistem sosial yang tidak lagi memperhatikan bimbingan agama dalam menghadapai permasalahan kehidupan. Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi, untuk melipatgandakan kekayaan, ada masyarakat yang sampai menghalalkan riba meskipun harus menghisap dan memiskinkan masyarakat yang lain. Dalam masyarakat ini akhirnya agama bernasib malang karena diabaikan dan ditinggalkan pemeluknya seiring modernisasi kehidupan yang dialami. Kalau pun masih dibutuhkan serimoni keagamaan, hal itu paling-paling hanya tampak saat acara pernikahan dan kematian. Karena agama terlanjur ditinggalkan maka potret masyarakat tadi tampak senantiasa diliputi rasa ketidakpuasan dan kegelisahan hidup. Khawatir harta bendanya dicuri atau rumahnya dimasuki pencuri maka dibuatlah pagar rumah yang tinggi. Sangking tingginya sampai-sampai ia tidak mengenal tetangganya karena terlanjur terpisah oleh tembok.
Potret hilangnya berkah dalam masyarakat modern tidak menjadi wajah tunggal proses modernisasi bangsa. Di antara hiruk pikuk jam kerja masyarakat kota, masih terdapat fakta yang menunjukan sebagaian masyarakat meramaikan tempat-tempat ibadah. Lebih jauh dari itu, di suatu medan kerja yang berat seperti tempat pengeboran sumber daya alam di lepas pantai (RIG) masih ada kesadaran akan kebutuhan mereka akan bimbingan agama. Potret ini menunjukan satu optimisme kehidupan bahwa selain kehausan materi yang terus mereka kejar ada kehausan lain yang juga menuntut untuk dipenuhi, yaitu pencarian akan zat yang hakiki- Allah. Jalan itu bagi mereka tersedia oleh ajaran agama. Ilmu pengetahuan-teknologi dan perkembangan temuannya hari ini belum mampu mengobservasi Tuhan dan Zatnya, namun demikian bagi mereka tidak harus menyebabkan mereka skeptis akan realitas Allah dan perkara gaib.[6] Mereka merasa bahwa keterbatasan panca indra manusia untuk mengobservasi Allah menegaskan bahwa dibutuhkan alat lain untuk merasakan dan mengalami kekuatan hidup yang hakiki (Allah). Ada pun itu ternyata terfasilitasi oleh ajaran-ajaran agama. Bagi mereka, pilihan menjadi modern menyebabkan diri semakin butuh akan agama. Hal demikian tetap memposisikan mereka berkesesuai dengan ciri masyarakat modern yaitu rasional, terbuka, menghargai keragaman, dan optimis dengan masa depan.

C.       Hubungan Islam dan Iman
Allah menyeru manusia agar memeluk agama-Nya secara kaffah (menyeluruh diseluruh aspek kehidupan atau tidak sepotong-sepotong. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. Al- Baqarah: 208;

        
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”      

Sebab diwahyukan firman Allah di atas berawal ketika sebagian orang Yahudi[7] yang baru memeluk Islam meminta kepada Rasulullah SAW agar mereka tetap bisa merayakat hari Sabtu sebagai hari suci mereka dan tetap membaca Taurat di malam hari. Permintaan itu langsung dijawab Allah melalui firman di atas. Subtansi pesanya adalah siapa pun yang telah memeluk Islam maka jadikanlah ia satu-satunyab bimbingan hidup. Selain itu barang siapa yang telah menegakan rukun iman buktikan lebih lanjut dengan menegakan rukun Islam karena hal demikian lah sebagai kesempurnaan dalam beragama. Oleh karenanya yang menjalankannya akan terhindar dari jebakan-jebakan syetan.


[1] Menurut penanggalan Hijriah, saat ini adalah tahun 1431 H. Artinya telah mencapai 15 Abad Hijriah.
[2] Yahudi sebagai nama agama disandarkan pada bangsa Yahudi (saat ini akrab dengan sebutan Israel). Kejawen sebagai salah satu agama local di Indonesia bersumber dari suku pemeluknya, orang Jawa. Budha sebagai nama agama disandarkan pada nama penyerunya, Budha Gautama.
[3] Pandangan seperti ini dapat dilihat satu diantaranya pada karya Sa’id Hawa, Al-Islam.
[4] Salah satu hadits yang menegaskan hal ini dapat dilihat pada karya Imam Nawai, Hadits Arbain, No. 3.
[5] Berkah adalah istilah dalam agama. Berkah secara empiric dapat dipahami sebagai berlipatnya nilai tambah dari kebaikan yang diinvestasikan. Sebagai contoh, Seseorang yang mengeluarkan hartanya untuk menolong orang miskin. Harta yang diberikan itu memberi nilai tambah bagi pemiliknya berupa status “sang dermawan”.
[6] Perkara gaib antara lain adanya Surga, Neraka, Malaikat, Setan dan Hari Kiamat.
[7]  Mereka adalah Abdullah bin Salam, Tsa`labah bin Yamin serta Asad dan Usaid bin Kaab, Said bin Amar dan Qais bin Zaid. Lebih lanjut lihat www.alqur’an-indonesia.com.

Niat & Menuntut Ilmu

Niat & Menuntut Ilmu
Dosen PAI: Didi Purnomo, S.Pd.I, MA

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
:   يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ، وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ))  [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و ابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb , dia menjelaskan bahwa telah mendengar Rasulullah  bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

Hadits di atas cenderung diletakan pada bab pertama pada setiap kitab-kitab hadits.[1] Terutama lagi bagi kitab hadits yang menghimpun tema akhlak dan amal shaleh. Hal demikian menandakan bahwa setiap muslim saat mengawali amal kebaikan menjadikan niat sebagai perkara yang penting untuk diposisikan dengan tepat terlebih dahulu. Ada harapan di dalamnya bahwa hasil akhir yang baik dipengaruhi oleh niat (motive) yang benar (lurus).
Saat diamati lebih seksama, niat yang kuat dari seorang muslim dalam mengerjakan amal sholeh mengandung beberapa unsur pembentuk. Hal demikian minimal terdiri dari empat bagian, yaitu:
1.         Semangat
Dalam kamus bahasa Indonesia arti kata semangat merujuk salah satunya pada makna kekuatan batin.[2] Semangat juga memiliki kedekatan makna dengan power. Dalam redaksi yang lebih sederhana ia bisa di persamakan dengan gairah. Oleh karenanya ibarat berbagai peralatan elektronik, ia tidak akan menghidupkan atau memainkan fungsinya ketika tombol power tidak dipantik terlebih dahulu.
2.         Tekad
Secara bahasa tekad merujuk makna kebulatan hati. Tekad juga berupa keberanian mengambil keputusan untuk bertindak. Jika diperumpamakan dengan perbuatan seseorang yang berniat menjadi penghafal  Al-Qur’an maka tekadnya ditunjukan dengan keputusan mematok sebagian besar waktunya untuk mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an dan mengurangi waktu untuk ngobrol atau perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan memperkuat hafalan. Contoh lain, seseorang yang berniat menjadi muslim yang taat maka tekadnya ditunjukan dengan keberanian diri memutuskan /menutup celah-celah menuju keburukan hidup. Contoh terakhir, seseorang yang berniat lancar berbahasa asing maka tekadnya dapat terlihat dari keberanian mempraktekannya.
3.         Nekat
Nekat yang dimaksud adalah keberanian diri menanggung resiko. Contoh nyata, seseorang mahasiswa yang ingin menjadi programmer maka ia berusaha semaksimal mungkin kuliah meskipun biayanya harus ngutang kesana-kemari. Contoh lagi seseorang yang berani menjadi insinyur dibidang listrik (baik arus lemah/tinggi) maka ia berani menaggung resiko sekali dua kali tersengat teganggan listrik.
4.         Ilmu
Ilmu sederhananya adalah pengetahuan akan sesuatu. Niat menjadi apa pun, ilmu merupkan unsur pembentuk yang menopang amal bernilai lebih. Dalam hal ini ada baiknya direnungkan satu ungkapan bijak yang mengatakan bahwa dengan cinta hidup menjadi indah, berbekal agama hidup jadi terarah dan dengan ilmu hidup jadi lebih mudah. Artinya apa pun niat seseorang ingin dicapai ketika ia menguasai ilmunya maka pencapaian niat itu menjadi lebih mudah dilakukan. Contoh sederhana, seseorang yang berniat pergi ke Samarinda, pencapaian niat itu menjadi lebih mudah saat yang bersangkutan sudah mengetahui informasi (pengetahuan) jalan & kendaraan yang menuju ke Samarinda.
Unsur ilmu dalam setiap niat pada akhirnya Allah jadikan sebab seorang muslim memiliki derajat sosial & taqwa lebih tinggi pada sesama.[3] Menimbang berharganya suatu ilmu maka Rosulullah SAW menjadikannya wajib dikuasai bagi setiap muslim & muslimat.


[1] Sebagai contoh dalam karya Imam Nawawi, Kitab Hadits Arbain. Selain itu Karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Kitab Lu’ lu wa al-Marjan fima Ittafaqo ‘Alaihi As-Syaikhonu
[2] Akses cepat & mudah tentang makna kebahasaan lihat www.KamusBahasaIndonesia.org
[3] Tadaburi (renungkan) QS Al-Mujadilah: 11; juga Az-Zumar: 9.